Jumat, 17 Juni 2016

GERAKAN BERSAMA MENGHADIRKAN KEJUJURAN DI DUNIA PENDIDIKAN



GERAKAN BERSAMA MENGHADIRKAN KEJUJURAN
DI DUNIA PENDIDIKAN
Y e n d r a, S.Pd
(Guru SMPN 3 Alas Barat)

Selamat pagi pak, selamat pagi bu, ucap anak sekolah
dengan sapaan palsu ...................................................
.......................................................................................
Sambil tersipu palsu dan membuat tolakan-tolakan palsu,
akhirnya pak guru dan bu guru terima juga amplop itu
sambil berjanji palsu untuk mengubah nilai-nilai palsu
dengan nilai-nilai palsu yang baru.
Masa sekolah demi masa sekolah berlalu,
mereka pun lahir sebagai ekonom-ekonom palsu,
ahli hukum palsu, ahli pertanian palsu, insinyur palsu.
.......................................................................................
Penggalan ‘Sajak Palsu’ Agus R. Sarjono di atas adalah sebagian fakta gelap yang tak terbantahkan tentang keadaan bangsa ini yang pernah terjadi, sedang terjadi dan mungkin akan terjadi di masa-masa mendatang. Secara moral, pendidikan mempunyai tanggung jawab untuk menata kembali reruntuhan tabiat buruk yang berserakan untuk menjadi bangunan karakter yang akan menjadi ciri kepribadian bangsa ini. 
Pendekatan melalui dunia pendidikan merupakan salah satu langkah strategis untuk mewujudkan kondisi ideal pembentukan karakter  yang baik bagi bangsa. Pendidikan sebagai sebuah wadah besar yang didalamnya terdapat komponen Pendidik (Guru) yang akan memberikan pengaruh positif terhadap pembangunan karakter anak didiknya. Guru berperan penting dalam menciptakan pribadi siswa yang kuat dengan menanamkan beragam karakter baik melalui proses pembelajaran secara langsung atau pun tak langsung. Dari hal sederhana hingga kompleks dapat dilakukan seorang guru dalam membentuk pribadi siswanya. Mendidik dengan sentuhan hati seorang guru akan mampu mengubah sifat buruk siswanya. Keluarga (Orang tua) memiliki peran yang setara dengan guru dalam memberikan warna terhadap karakter  anaknya. Dialog yang kontinyu antara orang tua dengan guru dalam memantau perkembangan karakter anak, menjadi syarat mutlak yang harus dilakukan kedua belah pihak untuk mengatasi berbagai kejadian meresahkan karena krisis karakter yang menimpa generasi muda khususnya para siswa di dunia pendidikan. Ada fenomena yang menjadi topik pembicaraan aktual dalam beberapa tahun terakhir di kalangan dunia pendidikan terkait pelaksanaan Ujian Nasional. Bukan rahasia lagi, Ujian Nasioanal harus dicederai dengan kecurangan demi terdongraknya rating sekolah, kabupaten hingga provinsi. Muaranya, melahirkan siswa dengan kompetensi rapuh dan palsu.
Menurut majalah Current Health (majalah kesehatan yang juga melakukan kajian psikologi) melaporkan hasil polling bahwa 80% dari 3000 siswa SMA di AS mengaku pernah berlaku curang di sekolah. Hal yang sama berlaku juga di Australia, di mana Godfrey dan Waugh melaporkan bahwa hasil survey di 16 negara bagian Australia yang terdiri dari 6000 siswa, 76% mengaku pernah berlaku curang secara akademik. Menurut sumber tersebut tingkat kecurangan di sekolah-sekolah yang berbasis agama juga mempunyai tingkatan yang sama.
Di Indonesia hal serupa pun terjadi meskipun belum ada data pasti. Hal tersebut dibuktikan dengan munculnya banyak  pengaduan ke Kemdikbud sehubungan dengan terjadinya kecurangan pelaksanaan Ujian Nasional. Kita kemudian menggelengkan kepala sambil mengelus dada manakala siswa menganggap kecurangan adalah hal biasa saja yang tidak perlu dibesar-besarkan. Padahal mereka menyadari sepenuhnya bahwa menyontek, menjiplak, membawa kertas catatan ke ruangan ujian, mendapat jawaban dari teman atau guru adalah perbuatan tidak jujur dan secara moral tidak bisa diterima. Untuk itu, dibutuhkan strategi-strategi khusus untuk menghilangkan sedikit demi sedikit prilaku tidak jujur pada diri siswa, guru dan komponen lainnya dalam pendidikan.
Peran Guru dan Orang Tua
Guru dan orang tua adalah dua pohon besar yang akan menopang tegaknya bangunan karakter paserta didik di sebuah sekolah. Seorang guru yang menghendaki adanya perubahan perilaku pada anak didiknya haruslah mengawalinya dari diri guru itu sendiri. Artinya, guru harus menebarkan kebaikan dengan memberi keteladanan pada siswanya. Guru harus bisa memberikan contoh kepada muridnya. Misal saja ketika mengajar di kelas, guru harus jujur pada dirinya sendiri dan juga kepada siswanya manakala tidak mampu menjawab pertanyaan muridnya tentang materi ajar tertentu karena guru belum mempelajari hal yang ditanyakan tersebut, maka guru harus berani jujur mengatakan di kesempatan lain bahwa ia pernah melakukan kekhilafan dalam mengajarkan suatu konsep, kemudian segera memperbaikinya. Jika seorang guru berani jujur mengakui kesalahannya di depan anak didiknya, bukan berarti anak didiknya akan mengurangi rasa hormat kepada sang guru, melainkan akan menambah kekaguman muridnya terhadap kejujuran guru tersebut. Kebiasaan memberikan stimulus kepada murid-muridnya berupa contoh-contoh sikap yang jujur, hal ini akan direspon oleh anak dengan cara meniru kejujuran yang dicontohkan guru. Selain  itu, seorang guru juga dituntut untuk memiliki intuisi sebagai penyidik dan bersikap tegas dalam menangani siswa yang bertindak tidak jujur. Konsistensi guru dalam menindak anak didiknya yang berlaku tidak jujur akan memberikan efek jera berkelanjutan bagi yang lainnya agar tidak mengulangi ketidakjujuran rekannya. Langkah lain yang dapat ditempuh seorang guru dalam membentuk karakter jujur peserta didiknya adalah dengan menyusupkannya melalui proses penilaian pembelajaran dan dicantumkan  dalam  Laporan Hasil Belajar (Rapor) sehingga dapat dijadikan sebagai salah satu bahan pertimbangan kenaikan kelas peserta didik. Kebiasaan guru menilai kejujuran siswa dalam proses belajar mengajar ini akan menjadi stimulus yang baik untuk menumbuhkan respon berupa kejujuran siswa.
Di sisi lain, orang tua pun harus melakukan hal serupa yang dilakukan guru sebagai bentuk perimbangan contoh kebaikan yang dirasakan seorang anak dirumahnya. Keteladanan sikap baik yang diwujudkan dalam bentuk kongkrit oleh orang tua di keseharian kehidupan anak akan membawa pergeseren sikap yang semula negatif ke arah positif. Contoh sederhana; ketika orang tua menjanjikan sesuatu sebagai hadiah bagi anaknya maka berusahalah semampu mungkin untuk memenuhinya. Peristiwa ini akan tertanam di memori si anak sepanjang hayatnya sebagai benih kejujuran. Sehingga di setiap gerak-geriknya ada kontrol internal yang akan selalu mengingatkannya untuk cenderung bertindak jujur. Sebaliknya, bila keinginannya gagal terpenuhi maka si anak akan mengecapnya sebagai ketidakjujuran orang tua yang akan melekat dibenaknya seumur hidup. Akibatnya, di setiap tindak-tanduknya cenderung mengedepankan ketidakjujuran karena adanya dorongan kuat kontrol internal dari visual yang terekam di otak si anak. Ada sebuah pepatah, character is what you are when no one is looking (karakter adalah apa adanya kita ketika tidak ada seorang pun yang melihat). Jadi, seseorang mau berlaku jujur karena ada kontrol internal yang kuat untuk tidak berlaku curang dan ini sudah menjadi karakternya, dilihat atau tidak dilihat orang.
Apabila gerakan bersama anatara guru dan orang tua dapat bersinergi dengan baik, mungkin Agus R. Sarjono akan mengizinkan kita mengubah pengggalan sajaknya; Selamat pagi pak, selamat pagi bu, ucap anak sekolah dengan sapaan penuh kejujuran .................................................................// Sambil tersipu jujur dan menolak dengan jujur, akhirnya pak guru dan bu guru tak mau terima amplop itu//sambil berjanji dengan jujur untuk tidak akan mengubah nilai-nilai yang ada dengan nilai-nilai palsu yang baru.// Masa sekolah demi masa sekolah berlalu,//mereka pun lahir sebagai ekonom-ekonom jujur, ahli hukum jujur, ahli pertanian jujur, insinyur jujur.//..................................................................................