GERAKAN BERSAMA MENGHADIRKAN KEJUJURAN
DI DUNIA PENDIDIKAN
Y
e n d r a, S.Pd
(Guru
SMPN 3 Alas Barat)
Selamat
pagi pak, selamat pagi bu, ucap anak sekolah
dengan sapaan palsu ...................................................
dengan sapaan palsu ...................................................
.......................................................................................
Sambil
tersipu palsu dan membuat tolakan-tolakan palsu,
akhirnya
pak guru dan bu guru terima juga amplop itu
sambil
berjanji palsu untuk mengubah nilai-nilai palsu
dengan
nilai-nilai palsu yang baru.
Masa
sekolah demi masa sekolah berlalu,
mereka
pun lahir sebagai ekonom-ekonom palsu,
ahli
hukum palsu, ahli pertanian palsu, insinyur palsu.
.......................................................................................
Penggalan
‘Sajak Palsu’ Agus R. Sarjono di atas adalah sebagian fakta gelap yang tak
terbantahkan tentang keadaan bangsa ini yang pernah terjadi, sedang terjadi dan
mungkin akan terjadi di masa-masa mendatang. Secara moral, pendidikan mempunyai
tanggung jawab untuk menata kembali reruntuhan tabiat buruk yang berserakan untuk
menjadi bangunan karakter yang akan menjadi ciri kepribadian bangsa ini.
Pendekatan
melalui dunia pendidikan merupakan salah satu langkah strategis untuk
mewujudkan kondisi ideal pembentukan karakter yang baik bagi bangsa. Pendidikan sebagai
sebuah wadah besar yang didalamnya terdapat komponen Pendidik (Guru) yang akan
memberikan pengaruh positif terhadap pembangunan karakter anak didiknya. Guru berperan
penting dalam menciptakan pribadi siswa yang kuat dengan menanamkan beragam karakter
baik melalui proses pembelajaran secara langsung atau pun tak langsung. Dari
hal sederhana hingga kompleks dapat dilakukan seorang guru dalam membentuk
pribadi siswanya. Mendidik dengan sentuhan hati seorang guru akan mampu
mengubah sifat buruk siswanya. Keluarga (Orang tua) memiliki peran yang setara
dengan guru dalam memberikan warna terhadap karakter anaknya. Dialog yang kontinyu antara orang
tua dengan guru dalam memantau perkembangan karakter anak, menjadi syarat
mutlak yang harus dilakukan kedua belah pihak untuk mengatasi berbagai kejadian
meresahkan karena krisis karakter yang menimpa generasi muda khususnya para
siswa di dunia pendidikan. Ada fenomena yang menjadi topik pembicaraan aktual dalam
beberapa tahun terakhir di kalangan dunia pendidikan terkait pelaksanaan Ujian
Nasional. Bukan rahasia lagi, Ujian Nasioanal harus dicederai dengan kecurangan
demi terdongraknya rating sekolah, kabupaten hingga provinsi. Muaranya,
melahirkan siswa dengan kompetensi rapuh dan palsu.
Menurut majalah Current Health (majalah kesehatan yang juga
melakukan kajian psikologi) melaporkan hasil polling bahwa 80% dari 3000 siswa
SMA di AS mengaku pernah berlaku curang di sekolah. Hal yang sama berlaku juga
di Australia, di mana Godfrey dan Waugh melaporkan bahwa hasil survey di 16
negara bagian Australia yang terdiri dari 6000 siswa, 76% mengaku pernah berlaku
curang secara akademik. Menurut sumber tersebut tingkat kecurangan di
sekolah-sekolah yang berbasis agama juga mempunyai tingkatan yang sama.
Di Indonesia hal serupa pun terjadi meskipun belum ada data
pasti. Hal tersebut dibuktikan dengan munculnya banyak pengaduan ke Kemdikbud sehubungan dengan
terjadinya kecurangan pelaksanaan Ujian Nasional. Kita kemudian menggelengkan
kepala sambil mengelus dada manakala siswa menganggap kecurangan adalah hal
biasa saja yang tidak perlu dibesar-besarkan. Padahal mereka menyadari
sepenuhnya bahwa menyontek, menjiplak, membawa kertas catatan ke ruangan ujian,
mendapat jawaban dari teman atau guru adalah perbuatan tidak jujur dan secara
moral tidak bisa diterima. Untuk itu, dibutuhkan strategi-strategi khusus untuk
menghilangkan sedikit demi sedikit prilaku tidak jujur pada diri siswa, guru
dan komponen lainnya dalam pendidikan.
Peran Guru
dan Orang Tua
Guru dan orang tua adalah dua pohon besar yang akan menopang
tegaknya bangunan karakter paserta didik di sebuah sekolah. Seorang guru yang
menghendaki adanya perubahan perilaku pada anak didiknya haruslah mengawalinya
dari diri guru itu sendiri. Artinya, guru harus menebarkan kebaikan dengan
memberi keteladanan pada siswanya. Guru harus bisa memberikan contoh kepada
muridnya. Misal saja ketika mengajar di kelas, guru harus jujur pada dirinya
sendiri dan juga kepada siswanya manakala tidak mampu menjawab pertanyaan muridnya
tentang materi ajar tertentu karena guru belum mempelajari hal yang ditanyakan
tersebut, maka guru harus berani jujur mengatakan di kesempatan lain bahwa ia pernah
melakukan kekhilafan dalam mengajarkan suatu konsep, kemudian segera memperbaikinya.
Jika seorang guru berani jujur mengakui kesalahannya di depan anak didiknya, bukan
berarti anak didiknya akan mengurangi rasa hormat kepada sang guru, melainkan
akan menambah kekaguman muridnya terhadap kejujuran guru tersebut. Kebiasaan memberikan stimulus kepada murid-muridnya
berupa contoh-contoh sikap yang jujur, hal ini akan direspon oleh anak dengan
cara meniru kejujuran yang dicontohkan guru.
Selain itu, seorang guru juga dituntut
untuk memiliki intuisi sebagai penyidik dan bersikap tegas dalam menangani
siswa yang bertindak tidak jujur. Konsistensi guru dalam menindak anak didiknya
yang berlaku tidak jujur akan memberikan efek jera berkelanjutan bagi yang
lainnya agar tidak mengulangi ketidakjujuran rekannya. Langkah lain yang dapat
ditempuh seorang guru dalam membentuk karakter jujur peserta didiknya adalah
dengan menyusupkannya melalui proses penilaian pembelajaran dan dicantumkan dalam Laporan
Hasil Belajar (Rapor) sehingga dapat dijadikan sebagai salah satu bahan
pertimbangan kenaikan kelas peserta didik. Kebiasaan guru menilai kejujuran siswa dalam
proses belajar mengajar ini akan menjadi stimulus yang baik untuk menumbuhkan
respon berupa kejujuran siswa.
Di sisi lain, orang tua pun harus melakukan hal serupa yang
dilakukan guru sebagai bentuk perimbangan contoh kebaikan yang dirasakan
seorang anak dirumahnya. Keteladanan sikap baik yang diwujudkan dalam bentuk
kongkrit oleh orang tua di keseharian kehidupan anak akan membawa pergeseren sikap
yang semula negatif ke arah positif. Contoh sederhana; ketika orang tua
menjanjikan sesuatu sebagai hadiah bagi anaknya maka berusahalah semampu
mungkin untuk memenuhinya. Peristiwa ini akan tertanam di memori si anak
sepanjang hayatnya sebagai benih kejujuran. Sehingga di setiap gerak-geriknya
ada kontrol internal yang akan selalu mengingatkannya untuk cenderung bertindak
jujur. Sebaliknya, bila keinginannya gagal terpenuhi maka si anak akan
mengecapnya sebagai ketidakjujuran orang tua yang akan melekat dibenaknya
seumur hidup. Akibatnya, di setiap tindak-tanduknya cenderung mengedepankan
ketidakjujuran karena adanya dorongan kuat kontrol internal dari visual yang
terekam di otak si anak. Ada sebuah pepatah,
character is what you are when no one is looking (karakter adalah apa
adanya kita ketika tidak ada seorang pun yang melihat). Jadi, seseorang mau
berlaku jujur karena ada kontrol internal yang kuat untuk tidak berlaku curang
dan ini sudah menjadi karakternya, dilihat atau tidak dilihat orang.
Apabila
gerakan bersama anatara guru dan orang tua dapat bersinergi dengan baik,
mungkin Agus R. Sarjono akan mengizinkan kita
mengubah pengggalan sajaknya; Selamat
pagi pak, selamat pagi bu, ucap anak sekolah dengan sapaan penuh kejujuran .................................................................// Sambil tersipu jujur
dan menolak dengan jujur, akhirnya
pak guru dan bu guru tak mau terima
amplop itu//sambil berjanji dengan jujur
untuk tidak akan mengubah
nilai-nilai yang ada dengan nilai-nilai
palsu yang baru.// Masa sekolah demi masa sekolah berlalu,//mereka pun lahir
sebagai ekonom-ekonom jujur, ahli
hukum jujur, ahli pertanian jujur, insinyur jujur.//..................................................................................